الفعل الثلاثى
FI’IL TSULATSI
Fi’il tsulatsi ialah kalimah
yang huruf asalnya ada tiga.[1]
Dalam kitab al Qowa’id al Shorfiyyah diterangkan yang dimaksud fi’il tsulatsi
ialah fi’il yang fi’il madlinya terdiri dari tiga huruf asal.[2]
Fi’il tsulatsi terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Fi’il tsulatsi mujarrod, ialah fi’il yang ketiga huruf
aslinya sepi dari tambahan, seperti ضَرَبَ.
b. Fi’il tsulatsi mazid, ialah fi’il yang ketiga huruf
aslinya mendapatkan tambahan satu huruf atau lebih,[3]
seperti اِجْتَمَعَ.
Huruf asli adalah
huruf yang tidak akan terbuang atau hilang dalam tashrifan manapun dari tashrifan
sebuah kalimat. Seperti lafadz نَصَرَ yang ketika ditashrif berbunyi نَصَرَ
يَنْصُرُ نَصْرًا الخ.
Huruf ziyadah ialah huruf yang
ditambahkan dalam sebuah kalimat. Huruf ini ada sepuluh yaitu seperti yang berkumpul
dalam kalimat سَأَلْتُمُوْنِيْهَا.[4]
BAB FI’IL TSULATSI MUJARROD
Sebenarnya fi’il tsulasi mujarrod bila ditilik dari segi
jenis harokat ‘ain fi’il yang ada pada fi’il madli dan mudlori’nya berjumlah 9
bab[5],
yaitu;
1.
فَعَلَ
يَفْعُلُ 7 فَعُلَ يَفْعُل 4 فَعِلَ يَفْعُلُ
2.
فَعَلَ
يَفْعِلُ 8 فَعُلَ يَفْعَلُ 5 فَعِلَ يَفْعَلُ
3.
فَعَلَ
يَفْعَلُ 9
فَعُلَ يَفْعِلُ 6 فَعِلَ يَفْعِلُ
Namun dari kesembilan bab tersebut yang terpakai dalam
tashrifan hanya enam (6) bab saja, sedangkan yang tiga bab tidak terpakai,
yaitu;
- فَعُلَ يَفْعَلُ tidak terpakai karena wazan tersebut tidak tergolong lughot (bahasa) yang baik dan fasih.
- فَعُلَ يَفْعِلُ tidak terpakai karena supaya tidak terjadi berkumpulnya dua harokat yang berat yang saling berlawanan yakni dlommah dan kasroh.
- فَعِلَ يَفْعُلُ tidak terpakai karena agar tidak terjadi pengharokatan satu huruf dengan harokat yang bertambah berat yakni pertama kasroh dan yang kedua dlommah.[6]
Dari keterangan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
wazan fi’il tsulatsi mujarrod mempunyai enam (6) bab. Dan di antara tiap-tiap
bab dapat dibedakan dengan harokat ‘ain fi’il yang ada pada fi’il madli dan fi’il
mudlori’, sebagaimana seperti yang tercantum dalam nadzom berikut ini,[7]
yaitu;
فَتْحُ ضَمٍّ فَتْحُ
كَسْرٍ فَتْحَتَانِ كَسْرُ فَتْحٍ ضَمُّ
ضَمٍّ كَسْرَتَانِ
Bab I
فَعَلَ
يَفْعُلُ
Bab satu ini ditandai dengan ‘ain fi’il yang dibaca fathah
pada fi’il madlinya dan dibaca dlommah pada ‘ain fi’il mudlori’nya.[8]
Wazannya adalah فَعَلَ
يَفْعُلُ.
Bab satu didahulukan karena lebih banyak lughot dan maknanya
dan juga karena ‘ain fi’il pada fi’il mudlori’nya dibaca dlommah, sedang pada
bab dua ‘ain fi’il mudlori’nya dibaca kasroh, dan dlommah adalah harokat yang
paling kuat sedangkan kasroh adalah harokat yang paling lemah, maka yang kuat
didahulukan dari pada yang lemah.
Adapun lafadz-lafadz yang masuk pada bab satu kebanyakan
berupa fi’il muta’adi dan terkadang berupa fi’il lazim namun sedikit.[9]
Fi’il muta’adi adalah kalimah yang membutuhkan maf’ul bih (sasaran
pekerjaan/objek). Contoh:
عَمْرًا زَيْدٌ نَصَرَ
= Zaid telah menolong Amr. Dan fi’il lazim adalah kalimah yang tidak
membutuhkan maf’ul bih. Contoh: خَرَجَ زَيْدٌ = Zaid
telah keluar.
Ada sebagian cara untuk mengetahui atau menentukan hukum
muta’adi dan lazimnya suatu kalimah yaitu dengan ketentuan: setiap lafadz yang menunjukkan arti yang dikerjakan oleh semua
anggota badan, hukumnya adalah lazim. Contoh: )pergi) ذَهَبَ (keluarخَرَجَ (.
Dan setiap kalimah yang menunjukkan arti yang dikerjakan
oleh sebagian anggota badan, hati dan panca indera[10]
hukumnya adalah muta’adi. Contoh: ضَرَبَ )memukul) رَأَى (melihat(.
Tidak semua bina’ bisa masuk pada bab satu ini, namun yang
bisa masuk pada bab ini adalah bina’ shohih, ajwaf wawi, naqis wawi, mudlo’af
dan mahmuz fa’.[11] Untuk
tashrifan masing-masing lafadznya bisa dilihat pada kitab tashrif
masing-masing.
Bab II
فَعَلَ يَفْعِلُ
Bab dua ini ditandai dengan ‘ain fi’il yang yang dibaca
fathah pada fi’il madli dan dibaca kasroh pada fi’il mudlori’nya. Wazannya
mengikuti wazan فَعَلَ يَفْعِلُ. Adapun
lafadz-lafadz yang masuk pada bab dua kebanyakan berupa fi’il muta’adi.[12]
Contoh: Saya memukul Zaid : ضَرَبْتُ زَيْدًا
Dan
terkadang ada yang
berupa fi’il lazim, contoh: Zaid telah duduk : جَلَسَ زَيْدٌ
Ada sebagian binak yang tidak bisa masuk pada bab dua, yaitu
binak ajwaf wawi, dan naqis wawi, sedangkan selain dua binak ini bisa masuk
pada bab dua.
Catatan:
Bab dua ini didahulukan dari pada bab tiga karena bab dua
itu terhitung tiang (penyangga) dari beberapa bab yang ada dan juga karena
banyak lughotnya (bahasa) serta banyak terpakai, bahkan Imam Tsa’labi
menjelaskan bahwa apabila timbul kemusykilan
terhadap suatu kalimat
dan tidak jelas termasuk bab berapakah kalimat tersebut, bab satu atau bab dua
atau lainnya, maka kalimat tersebut dapat diikutkan pada bab dua. Sehingga bab
dua ini disebut sebagai Asal bab (induk bab). Dan pengarang kitab Mathlub mengatakan
bahwa bab satu hukumnya adalah sima’iy dan bab dua hukumnya adalah Qiyasi (bisa
disamakan).[13]
Bab III
فَعَلَ يَفْعَلُ
Bab tiga[14]
ini ditandai dengan ‘ain fi’il yang dibaca fathah pada fi’il madli dan ‘ain
fi’il mudlori’nya.[15]
Wazannya adalah فَعَلَ يَفْعَلُ
Adapun lafadz-lafadz yang masuk pada bab III kebanyakan
berupa fi’il muta’adi.
Contoh : Zaid membuka pintu = اَلْبَابَ زَيْدٌ فَتَحَ
Dan terkadang ada yang berupa fi’il lazim.
Contoh : Benih itu tumbuh =
نَبَتَ اَلْبُذْرُ
Lafadz-lafadz yang ikut pada bab tiga disyaratkan ‘ain fi’il
atau lam fi’ilnya berupa huruf halaq[16],
yang jumlahnya ada enam, yaitu : همزة، هاء،
حاء، خاء، عين، غين.
Bab IV
فَعِلَ
يَفْعَلُ
Bab empat[17]
ditandai dengan ‘ain fi’il yang dibaca kasroh pada fi’il madli dan dibaca
fathah pada ‘ain fi’il mudlori’nya. Wazannya adalah فَعِلَ
يَفْعَلُ . lafadz-lafadz yang ikut pada bab
empat ini kebanyakan berupa fi’il muta’adi. Contoh: عَلِمَ
زَيْدٌ اَلْمَسْئَلَةَ = Zaed mengetahui masalah.
Dan terkadang ada
yang berupa fi’il lazim, akan tetapi sedikit.
Contoh: وَجِلَ زَيْدٌ =
Zaid merasa takut.
Akan tetapi dalam
kitab Qowa’id al Shorfiyyah, lafadz-lafadz yang ikut pada bab empat ini banyak
menunjukkan arti penyakit, susah, gembira, warna, ‘aib, dan hiasan.[18]
Contoh: سَقِمَ = Sakit مَرِضَ = Sakit حَزِنَ = Susah فَرِحَ = Senang شَهِبَ =
Kelabu عَوِرَ = Buta sebelah.
Bab empat tidak
ada isim alatnya karena bab empat lebih banyak diikuti oleh lafadz yang
menunjukkan arti sifat, penyakit dan warna, sedangkan lafadz-lafadz yang
menunjukkan arti demikian adalah berbentuk lazim dan isim alat ini hanya bisa
dicetak dari fi’il muta’adi saja.[19]
Selain itu, karena bab empat lafadz-lafadnya menunjukkan arti yang dikerjakan
anggota batin, sedangkan isim alat hanya bisa dibentuk dari lafadz-lafadz yang
menunjukkan arti pekerjaan yang bisa dikerjakan anggota lahir (فِعْلٍ ذِيْ عِلاَجٍ
مَحسُوْسٍ).[20]
Bab V
فَعُلَ يَفْعُلُ
Bab lima ditandai
dengan ‘ain fi’il yang dibaca dlommah pada fi’il madli dan fi’il mudlori’.
Wazannya adalah : فَعُلَ يَفْعُلُ .
Adapun
lafadz-lafadz yang termasuk bab lima semuanya berupa fi’il lazim, karena bab
lima ini khusus diikuti fi’il-fi’il yang menunjukkan arti watak atau tabiat dan
sifat-sifat pembawaan yang melekat (tidak mudah luntur). Seperti: pemberani,
penakut, bagus, jelek, kuning, hitam dan lain sebagainya. Sedangkan
lafadz-lafadz yang menunjukkan arti demikian ini tidak membutuhkan maf’ul
(tidak berhubungan dengan maf’ul) namun hanya membutuhkan atau berhubungan
dengan fa’il saja, maka dari itu hukumnya lazim yang akhirnya bab lima tidak memiliki
isim maf’ul.[21]
Tidak semua bina’
bisa masuk pada bab lima seperti bina’ ajwaf ya’ dan naqis ya’, keduanya tidak
bisa masuk pada bab lima. Adapun bina’ mudlo’af yang masuk pada bab lima
jumlahnya sedikit.
Bab VI
فَعِلَ
يَفْعِلُ
Bab enam[22]
ditandai dengan ‘ain fi’il yang dibaca kasroh pada fi’il madli dan ‘ain fi’il
mudlori’nya. Wazannya adalah فَعِلَ يَفْعِلُ.
Adapun
lafadz-lafadz yang termasuk bab enam kebanyakan berupa fi’il muta’adi.
Contoh : حَسِبَ زَيْدٌ عَمْرًوا
الْفَاضِلَ = Zaid
menyangka Amr orang yang utama.
Dan terkadang
berupa fi’il lazim, namun sedikit. Contoh: وَمِقَ زَيْدٌ : Zaid telah mabuk cinta.
Dan juga
kebanyakan lafadz-lafadznya berupa bina’ mu’tal, sedangkan jika ada yang berupa
fi’il shohih hukumnya sedikit (qolil). Untuk bina’ mudlo’af, ajwaf wawi, naqis
wawi, lafif maqrun, dan mahmuz tidak bisa masuk pada bab enam.[23]
[1]
Hamid, M. Abdul Manaf, KH., Pengantar Ilmu Shorof Ishtilahi-Lughawi,
1995, PP. Fathul Mubtaiin, Nganjuk, hlm. 23
[2] Al
Ranbaniy, Ahmad Fauzan Zain Muhammad, al Qowa’id al Shorfiyyah, 1963,
Menara Kudus, Kudus, hlm. 2
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]
Al Rozy, A. Syanwani Midkhol, al Maqoshid Ash Shorfiyyah; Pengantar memahami
Nadzom Maqshud, 2009, Daarul Hikmah, jombang-Jawa Timur, hlm. 4
[6] Ibid
[7]
Hamid, M. Abdul Manaf, KH., Op Cit, hlm. 23
[8] Ibid,
hlm. 26
[9] Al
Ranbaniy, Ahmad Fauzan Zain Muhammad, Op.Cit, hlm. 5
[10]
Muhammad Ma’shum ‘Aly, As Syeikh, al Risalah at Tashrifiyyah, 1412 H, Madrasah
Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri, hlm. 6
[11]
Al Rozy, A. Syanwani Midkhol, Op.Cit, hlm. 5
[12]
Ibid, hlm. 5
[13]
Hamid, M. Abdul Manaf, KH., Op.Cit, hlm. 31
[14]
Bab tiga didahulukan dari pada bab empat, karena bab tiga ‘ain fi’il pada fi’il
madlinya dibaca fathah dan dalam bab empat dibaca kasroh, sedang fathah itu
asal dan kasroh itu cabang.
[15]
Hamid, M. Abdul Manaf, KH., Op.Cit, hlm. 34
[16]
Disyaratkan demikian karena ‘ain fi’il dalam fi’il madli dan fi’il mudlori’nya
dibaca fathah, sedangkan fathah adalah harokat yang paling ringan, agar bisa
ta’addul (seimbang) dengan bab lainnya maka disyaratkan ‘ain fi’il atau lam fi’ilnya
harus berupa huruf yang berat yaitu huruf halaq. Syarat yang demikian ini bukan
berarti semua lafadz yang ‘ain fi’il atau lam fi’ilnya berupa huruf halaq itu
mesti ikut bab tiga. Tidak! Hal ini dikarenakan wujudnya syarat tidak
mengharuskan wujudnya perkara yan disyaratkan (masyruth), maka wujudnya huruf
halaq (syarat) pada suatu lafadz tidak mengharuskan lafadz tersebut untuk
diikutkan pada bab tiga (masyruth) sebagaimana wujudnya wudlu’ (syarat) tidak
mengharuskan wujudnya sholat (masyruth), karena wudlu’ dapat digunakan untuk
selainnya sholat seperti memegang al Qur’an dan lain-lain. Namun wujudnya
masyruth (sholat) mengharuskan wujudnya syarat (wudlu’), sebab sholat tanpa
wudlu’ atau pun penggantinya (tayammum) tidak sah. Jadi, tegasnya
kalimah-kalimah yang ikut pada bab tiga disyaratkan ‘ain fi’il atau lam
fi’ilnya harus berupa huruf halaq, tetapi kalimah-kalimah yang ‘ain fi’il atau
lam fi’ilnya berupa huruf halaq tidak mesti ikut bab tiga.
[17]
Bab empat didahulukan dari pada bab lima karena bab empat termasuk pokok-pokok
bab (دَعَائِمُ
الأَبْوَابِ) dan banyak
lughotnya, serta keadaan lafadz-lafadznya yang ikut bab empat ada yang lazim
juga ada yang muta’adi. Sedangkan bab lima hanya diikuti oleh lafadz-lafadz
yang lazim saja.
Adapun yang dimaksud
pokok-pokok bab adalah asal dari beberapa bab yang ada, dikatakan asal bab
karena ‘ain fi’il pada fi’il madli dan fi’il mudlori’ harokatnya berbeda,
sehingga sering dikatakan bahwa makna fi’il madli dan mudlori’ juga berbeda, maka
sewajarnya kalau harokat ‘ain fi’il pada fi’il madli dan fi’il mudlori’ juga
berbeda, supaya ada keserasian antara lafadz dan maknanya (dalam
ketidaksamaan). Selain itu, ketiga bab tersebut banyak sekali digunakan,
sehinga lafadz-lafadz yang masuk pada ketiga bab tersebut terhitung lughot yang
fasih, sehingga ketiga bab tersebut disebut asal.
[18] Al
Ranbaniy, Ahmad Fauzan Zain Muhammad, Op.Cit, hlm. 7
[19]
Hamid, M. Abdul Manaf, KH., Op.Cit, hlm. 41
[20]
Muhammad Ma’shum ‘Aly, As Syeikh, Op.Cit, hlm. 14
[21] Hamid,
M. Abdul Manaf, KH., Op.Cit, hlm. 43
[22]
Bab enam ditempatkan sesudah bab lima karena bab enam dibentuk untuk
lafadz-lafadz yang Syadz. Hal ini terjadi karena para ‘ulama’ ahli shorof pada
awal mulanya menemukan beberapa gelintir lafadz yang terpakai namun jarang
sekali, sehingga pada akhirnya ‘ulama’ ahli shorof bersepakat untuk memberikan
(menampung dalam) wadah tersendiri yaitu pada bab enam ini.
[23] Hamid,
M. Abdul Manaf, KH., Op.Cit, hlm. 46